Monday 21 January 2019

#30HBC1921 Cerita Dari Sini: GUNUNG SINDUR

Introduction

Peta kecamatan Gunung Sindur,
cukup dekat dari Depok, Serpong, dan Jaksel. 
Keluarga saya adalah keluarga perantauan. Keluarga besar ada di triangle Malang - Surabaya - Probolinggo. Namun, keluarga kecilku ini, tinggal jauh, di pinggiran Jakarta. Orang-orang di sana pun masih menyebut daerah rumahku di Jakarta. Orang-orang yang tinggal di Jakarta masih menyebutnya di Serpong. Namun, rumahku bukan di Jakarta, bukan pula di Serpong, Tangsel.

Ya, inilah kecamatan pinggiran. Perbatasan antara Banten dan Jawa Barat. Di mana terjadi ketimpangan cukup besar terkait birokrasi. Inilah, kecamatan Gunung Sindur, kabupaten Bogor, provinsi Jawa Barat.

Rumahku, hanya 500 meter dari perbatasan Banten dan Jawa Barat.

Ya. Seperti itu. Dekat sekali. Sepertiga jarak dari kosanku ke Fasilkom UI. Perbedaannya pun (tampaknya) tidak jauh. BSD di Serpong sangat identik dengan perumahannya yang modern, dan tata kotanya yang cukup rapih. Pamulang terkenal dengan keramaiannya, layaknya kota satelit Jakarta bagi penghuni kelas menengah. Sama seperti di desa Rawakalong ini, desa perbatasan, masih banyak penghuni kelas menengah. Kode area teleponnya pun bukan 0251, tapi 021, seperti Tangsel dan Jakarta.

Namun, ada perbedaan yang mencolok.

Pertama, NO SIGNAL! 12 tahun aku hidup di Rawakalong ini sejak tahun 2006 pertengahan, aku merasakan sinyal bagus hanya jika bepergian ke Serpong atau Pamulang. Sesampainya di perbatasan, sinyal itu hilang. It's just gone. Gone. Bahkan di tahun 2016 pun, koneksi internetnya juga masih 2G, somehow. Waktu itu, hanya Telkomsel yang bisa 3G, padahal pada 2016 itu sudah marak 4G. Ketimpangannya sangat jauh.

Jalan di Gunung Sindur, before it was fixed
source: bidiknusantara.com
Selain itu, birokrasi! AAAAAAAAAA! The one big thing people hate about the government. Aku baru mengurus KTP bulan Maret 2017, dan baru jadi bulan Juni 2018. Namun, sayangnya, KTP itu hilang lagi pada November 2018 jadi harus mengurus lagi. Pengurusannya pun, menguras tenaga, dari kantor Desa Rawakalong ke kantor Kecamatan di Desa Gunung Sindur yang jaraknya 7 kilometer lewat jalan pintas, dan harus melewati jalanan yang berlubang dalam ketika memasuki daerah Desa Gunung Sindur, sehingga memperlambat perjalanan. And still, waktu menunggunya 1 tahun. Cukup kontras dengan di DKI Jakarta yang 1 minggu sudah jadi, dan di Tangsel yang 1 bulan sudah jadi. Ini, 1 tahun. Harus menunggu dari Cibinong dulu. Mengurus surat seperti SIM atau BPKB harus ke pusat pemerintah Kabupatan Bogor di Cibinong, yang jauhnya.... bahkan lebih jauh daripada rumahku ke UI. :(

Too much problem hanya dengan memiliki rumah yang berjarak 500 meter ke selatan dari perbatasan. Terlalu kontras. Terlalu ribet. Namun, pada akhirnya, segala kehidupan keluargaku bergantung pada kota Tangsel. Tempat usaha ayahku ada di Tangsel. SD SMP SMA ku dulu ada di Tangsel. Dan mencari makan, jalan-jalan, naik kereta, pun harus ke Tangsel dulu, baik itu lewat jalan tol atau ke stasiun Serpong/Rawabuntu yang jauhnya sekitar 10 km dari rumah.

Despite the complexity, there's some bliss.

Lingkungannya lebih tenang. Ya. Tidak terpengaruh hiruk pikuk kemacetan pusat kota layaknya jika tinggal di Pamulang. Oh iya, LOTS OF CATS!!! Meng meng meng meng meng. Ke Bogor bisa lebih sering dan gak perlu lewat jalan tol, hitung-hitung alternatif kalo mau jalan-jalan yang kesannya jauh tapi murah. Karena dekat dari Tangsel, sumber makanan pun banyak, banyak restoran di sekitar layaknya hidup di kota Tangsel.

Ya, meskipun cukup jauh dari kemacetan, dampak pembangunan kota Tangsel pun masih terasa cukup besar di perbatasan ini. Jalanannya masih lebih cepat diperbaiki dibandingkan yang ada di desa Gunung Sindur yang sesungguhnya. Pemerintah lebih memberikan perhatian terhadap kota dibanding kabupaten, itu terbukti. Tapi yasudahlah, karena jaraknya dekat, anggap saja rumahku ini Tangsel tapi secara kependudukan masuknya kabupaten Bogor. Keluargaku gak milih walikota Tangsel tapi dampaknya besar. Milih bupati Bogor tapi dampaknya sangat kecil, jadi seringkali tidak tahu apa-apa.

Ending

We depend on Tangsel, but we still acknowledge that we are Bogors. Mungkin, ada baiknya pemerintah kabupaten Bogor memperhatikan birokrasi di perbatasan. Ada baiknya jika membuat sentra tersendiri sehingga pelayanan pemerintahan menjadi jauh lebih cepat layaknya tetangga kami di Tangsel. Anyway, aku sudah hidup 12 tahun di sini, banyak kenangan dari kehidupan di perbatasan, yang layak dikenang hingga turunan.

Sekian.

No comments:

Post a Comment

Jangan takut untuk menuliskan keluh kesah Anda disini :)
Uh, sebelumnya, mohon maaf saya sangat jarang membalas komentar... (tapi tetap saya baca!)