Thursday 10 January 2019

#30HBC1910 Scores and Life

Nilai. Nilai. Nilai. Nilai. Not published.
Introduction

Everyone has their own perception about success. Dan menjadi hal yang wajar ketika orang mengaitkannya dengan angka. Ya. Sebuah angka, merupakan wujud yang terlihat. Namun, apakah angka tersebut merupakan representasi yang tepat akan keberhasilan hidup?

Mungkin, ada baiknya kalo aku start dari lingkungan sekitar, perkuliahan, dan SIAK-NG :) Karena hari ini sudah cukup dekat dengan deadline pengumuman nilai, di Fasilkom UI.

Is it... really important?

Setiap orang hidup, 24 jam sehari, mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Seringkali, mereka menyangkutkan kebahagiaan tersebut melalui suatu nilai. Nilai mata kuliah, gaji bulanan hasil kerja, berapa banyak uang yang ditabung, atau bahkan, menghitung banyaknya waktu yang kita habiskan untuk belajar.

Some said, "aku ngerasa selama ini ternyata kalo nilai mata kuliah itu se-bulls**t itu." Ada juga orang-orang "ambis" yang mereka terus mengejar kemampuan diri, terus menerus, demi mendapatkan nilai terbaik. "Aku harus dapat A untuk bla bla bla". Bahkan, kami sebagai mahasiswa pun tidak luput dari ambisi orang tua yang meminta anaknya untuk tetap mendapat IP 4 sepanjang perkuliahan, atau mungkin sekadar tuntutan keluarga yang semuanya tampak cerdas karena nilai-nilai mereka semasa kuliah yang luar biasa. Atau, ada juga yang keluarganya biasa-biasa saja, dan tidak banyak menuntut angka yang bagus.

"The Numbers Trap!" Nuseir Yassin said in one of his Nas Daily series. Ya. Orang seringkali terjebak dalam angka untuk menentukan kebahagiaan mereka. The same thing happened when you associate your cleverness with academic scores. Namun, perspektif pembahasanku kali ini akan sedikit berbeda. Bukan tentang endless count of numbers, yang memang benar, kita akan selalu terpaku mencari yang paling tinggi, namun tentang keefektifan angka-angka tersebut menggambarkan keberuntungan dan kebahagiaan. In the end, those two different things, will get me into the same conclusion.

Kembali ke perkataan salah satu temanku yang kusebutkan tadi, "nilai mata kuliah itu ternyata se-bulls**t itu". Somehow, pernyataan ini ada benarnya. Banyak orang yang mendapatkan nilai A di suatu matkul bahkan sudah lupa tentang isi matkul tersebut dan tidak paham apa esensi dan kegunaan matkul tersebut. Namun, ada juga orang-orang yang nilainya kurang beruntung, let's say... B+ ke bawah, namun mereka benar-benar masih paham, dan mengerti apa yang bisa ia lakukan dengan ilmu tersebut.

Namun, menurutku juga, pernyataan ambisi dari banyak orang tua yang aku temukan di lingkungan sekitarku juga ada benarnya. Karena manusia pada umumnya memang membandingkan dengan sesuatu yang "terlihat", maka nilai itu menjadi penting. Penting untuk mengejar nilai tersebut. Seleksi pekerjaan pun berdasarkan nilai pada tahapan pertamanya kan?

Dan menurutku, ya. Nilai numerik memang tidak selalu akurat dalam mengukur kapabilitas seseorang. Aku mengalaminya sendiri. Aku sempat jatuh di beberapa matkul yang aku suka dan aku paham konsep, serta apa yang bisa aku lakukan dengan matkul tersebut, namun pada saat ujian, kurang teliti, atau melakukan kesalahan-kesalahan kecil. We often did that. Ya, semua ini terangkum dalam satu kalimat, dalam cover page ujian Pemrograman Fungsional (uh, I will always remember this, thanks pak Ade :)), yang kurang lebih seperti ini, "Mari berusaha semaksmal mungkin dengan tidak terpaku pada penilaian yang seringkali kurang menggambarkan potensi akademik kalian, dan dengan tetap menjunjung tinggi kejujuran akademik."

Kesimpulan dan Saran(?)

Kembali seperti yang dapat disimpulkan di video Nuseir Yassin yang telah aku sebutkan tadi, jangan terpaku dengan nilai numerik. Apapun itu. Orang yang uangnya sedikit pun bisa merasa hidupnya cukup dan bahagia, sedangkan orang kaya bisa hidup gelisah. Orang yang nilai mata kuliahnya ampas pun bisa jadi juara di kompetisi dengan topik mata kuliah tersebut, dan terkadang orang yang nilainya bagus biasa-biasa saja. Yang penting, buat hidup lingkungan sekitar lebih bahagia.

But that doesn't mean "mengabaikan nilai numerik". No! Kita tetap butuh itu. Jadikan sebagai evaluasi diri, namun jangan terlalu memaksa. Lebih banyak bersyukur. Dan tetap berusaha lebih baik. Yang paling penting, jangan sampai nilai numerik itu menjadi tujuan utama, karena jika itu terjadi, kita bisa lupa dengan tujuan sesungguhnya. Tujuan sesungguhnya dari hidup adalah meraih kebahagiaan. Tujuan sesungguhnya dari belajar adalah memahami konsep dan mengamalkannya. Don't ever let bad scores disappoint you so much that it would prohibit you from doing great things~~

Sekian.


No comments:

Post a Comment

Jangan takut untuk menuliskan keluh kesah Anda disini :)
Uh, sebelumnya, mohon maaf saya sangat jarang membalas komentar... (tapi tetap saya baca!)